Belajar dari Alm. Orangtua : Pendidikan Berawal dari Mindset
Disclaimer : Semua yang aku tulis di blog ini murni pengalaman pribadi. Tujuannya apa? untuk pengingat dan bahan refleksi diri sendiri. Harapannya nanti minimal anak-anakku baca ini, syukur-syukur kalo ada orang lain juga yang mau baca dan mendapat manfaatnya. Intinya ambil yang baik-baiknya dan hempaskan yang kurang baik. Karena kesempurnaan hanya milik Allah. Semoga juga bisa menjadi ladang amal buat Alm Mama dan Bapak, ketika anaknya bisa share hal yang bermanfaat. Aamiin.
Aku di lahirkan di sebuah desa di Kabupaten Kuningan. Kalo mau tau sedesa apa kampungku, boleh gooling di goggle maps : Desa Galaherang, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Kuningan. Aku tinggal bersama kedua orang tua, adik dan kakek nenek. Kami menumpang di rumah kakek nenek. Kakek nenek anaknya 9 (pada saat itu), namun semuanya merantau. Jadi mama bapak lah yang tinggal bersama. Mengapa bisa? karena kondisi juga sih, jadi mama menikah dengan bapak karena bapak merupakan anak kos di tempat kakaknya mama ketika sekolah tingkat SMA. Bapak berasal dari Brebes Jawa Tengah yang bersekolah di Kuningan. Akhirnya setelah lulus, kakek (aku menyebutnya abah) meminta bapak untuk menikah dengan mama, dan bapak setuju.. alhamdulillah, kalo nggak, aku mungkin ga ada di dunia ini.

Long story short, tinggal di desa dengan lingkungan mayoritas berpendidikan rendah, tidak membuat kedua orang tua berhenti bermimpi anaknya bisa mengeyam pendidikan yang lebih baik dari mereka. Desaku itu lumayan tertinggal, terbukti listik pun baru masuk pas tahun 1996/1997 kalo ga salah, ketika aku lulus SD (ketauan deh umurnya).

Tapi aku sangat menikmati masa kecilku, masa belajar dan bermain dengan teman-temanku. Kami bermain permainan tradisional yang saat ini memang digemari pasa masanya. Banyak lah macamnya. Semuanya meninggalkan kesan tersendiri. Kami juga kerap belajar bersama, di bawah sinar rembulan hehe. Ketika SD yang aku ingat adalah, Bapak yang lebih sering menemaniku belajar. Tulisan tangan bapak sangat bagus. Btw, bapak sekolah hingga SMA, mama kalo ga salah ingat SD (atau bahkan ga sampe lulus), karena keadaan ekonomi. Kakek nenek menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting karena mereka akan membangun keluarga. Sedangkan perempuan akan mengikuti suaminya. Itu lah yang menjadi trigger mama agar anaknya bisa bersekolah lebih baik. Masa remaja mama dihabiskan dengan bekerja sebagai penjahit (mama dulu les manjahit) dan akhirnya membuat usaha jahit di rumah ketika sudah menikah. Setelah menikah, bapak bekerja serabutan dari mulai bertani, menjadi kondektur, menjadi buruh bangunan dan masih banyak lagi tapi alhamdulillah kami masih bisa memenuhi basic need kami, mungkin karena juga di support oleh kakek nenek kami dan biaya sekolah negeri yang tidak terlalu mahal. Btw SD ku walau ga terlalu jauh, tapi untuk sampai kesana aku harus menyebrang sungai lol. Walaupun ada alternatif jalan lain, tapi lebih jauh. Orang tua sadar, semakin tinggi jenjang pendidikan anak, maka biaya yang dibutuhkan akan semakin besar. Akhirnya bapak merantau ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga kakak iparnya (kakak kandung mama). Beberapa hal yang aku ingat dari mereka terkait pentingnya pendidikan adalah :
- Berikan anak sarana belajar : Yang aku ingat bapak pulang sebulan sekali, dan tentu saja membawa majalah Bobo (terbit seminggu sekali), jadi sebulan membawa 4 edisi. Meskipun gaji tidak seberapa (pertama kali kerja di Jakarta bapak jadi OB btw), tapi bapak mengutamakan untuk membeli majalan Bobo (baru ya) untuk mendukung anaknya berliterasi.
- Hampir zero lifestyle dan pandai mengelola keuangan. Dengan ekonomi sangat terbatas, mama sangat bisa mengatur keuangan. Jadi menurutku mengatur keuangan itu, bukan tentang seberapa banyak yang kita hasilkan, tapi seberapa baik kita mengelolanya. Inget banget daripada uangnya di pakai untuk membeli perabotan rumah, pakaian, tas dll yang mengutamakan gengsi, mama lebih suka menyimpan uangnya di Bank, bahkan dulu inget banget aku punya celengan dari bambu yang di tempel ke tembok atau untuk membeli emas perhiasan (mama belum mengenal emas batangan).
- Belajar melihat peluang dan rumah tangga adalah tim. Mama sangat pekerja keras, mama tidak pernah menyalahkan bapak ketika bapak 9 tahun kerja serabutan. Alih-alih menyalahkan, mama turut membantu ekonomi keluarga. Mama melihat rumah tangga adalah kerja tim, menurutnya selama suami tetap bertanggung jawab/tidak malas, maka rezeki itu hanya soal nominal. Bapak tidak segan memandikan kami (bahkan mandiinnya lebih bersih lo, sampe ke telapak kaki di bersihkan), menyetrika seragamku (pake setrika areng), menemani belajar dan mau membantu pekerjaan rumah lainnya. Mama selain menjahit, juga berdagang, dari mulai membuat es mambo dan menitipkannya di warung (pas listrik sudah masuk), jualan hasil bumi di kebun seperti jengkol, duren, rambutan, pete dll (iya, dan aku yang keliling kampung menjajakannya pake tampah yang di taro di atas kepala xixi). Mungkin itulah asal mula jiwa wirausahaku.
- Temani anak belajar dan dorong untuk mendapat prestasi yang baik. Alhamdulillah ketika SD, aku bisa masuk 3 besar di kelas. Mereka berulang kali menekankan mindset bahwa untuk mempunyai hidup yang lebih baik, bisa di capai dengan pendidikan. Mereka tidak bisa mewariskan harta benda, hanya bisa mewariskan ilmu yang bermanfaat, karena kelak itulah yang akan menjadi modal meraih kemandirian dalam hidup. Harta benda bisa habis jika kita tidak bisa mengelolanya.
0 komentar